Rabu, 30 Mei 2012

Laporan Orde Reaksi


PERCOBAAN IV
PENENTUAN ORDE REAKSI DAN TETAPAN LAJU REAKSI
I.          TUJUAN
CH3COOC2H5 + OH-                                   CH3COO- + C2H5OH
Adalah reaksi orde kedua. Di samping itu, akan ditentukan pula tetapan laju reaksinya. Penentuan ini akan dilakukan dengan cara titrasi dan konduktometri.
II.       DASAR TEORI
A.    Cara titrasi
Meskipun reaksi (1) bukan reaksi sederhana, namun ternyata bahwa reaksi ini merupakan reaksi orde kedua dengan hukum laju reaksinya dapat diberikan sebagai,
Atau sebagai,

Dengan,  a = konsentrasi awal ester, dalam mol liter-1
                 b = konsentarasi awal ion OH-, dalam mol liter-1
                 x = jumlah mol liter-1 ester atau basa yang telah bereaksi
                k1 = tetapan laju reaksi

 Baik persamaan (2) maupun persamaan (3) berlaku untuk keadaan reaksi  yang tidak terlalu dekat pada keadaan setimbang. Persamaan (3) dapat diintegrasi dengan memperhatikan pelbagai keadaan awal :
1.      a = b
Bila persamaan (3) diintegrasikan akan memberikan ,

Yang dapat disusun ulang menjadi :


Atau


Menurut persamaan (4b) apabila (a-b) (b-x) dialurkan terhadap t akan diperoleh garis lurus dengan arah lereng k1 (a-b), sehingga penentuan dari arah lereng ini memungkinkan perhitungan dari tetapan laju reaksi k1.
2.      a = b
Bila konsentrasi dari kedua pereaksi sama, maka persamaan (3) dapat ditulis sebagai,
2

Yang dapat diintegrasi menjadi,

Persamaan terakhir ini mengungkapkan bahwa aluran x/a (a-x) terhadap t merupakan garis lurus dengan arah lereng sama denga k1.
Pada penentuan jalanya reaksi diikuti dengan cara penentuan konsentrasi ion OH- pada waktu tertentu yaitu dengan mengambil sejumlah tertentu larutan, kemudian ke dalam larutan yang mengandung asam berlebih. Penetralan dari basa dalam campuran reaksi oleh asam akan menghentikan reaksi. Jumlah basa yang ada dalam campuran reaksi pada saat reaksi dihentukan, dapat diketahui dengan menitrasi sisa asam oleh larutan standar basa.
B.     Cara konduktometri
Pada suhu tetap hantaran suatu larutan bergantung pada (a) konsentrasi ion, dan (b) kemobilan ion dalam larutan. Umumnya sifat hantaran listrik satu elektrolit mengikuti hukum ohm, V = IR, dengan tegangan V, arus I dan tahanan R. Hantaran (=L) suatu larutan didefenisikan sebagai kebalikan dari tahanan,
                                            L = I/R
Hantaran jenis (=k), suatu larutan ialah hantaran ‘sebatang’ larutan tersebut itu yang panjangnya 1 meter dan luas penanmpang lintangnya 1 m2, maka untuk dua permukaan yang sejajar seluas A m2 dan berjarak 1 m dari yang lain, berlaku hubungan,
                                             L = k A/I
Dalam pengukuran-pengukuran hantaran diperlukan hantaran diperlukan pula suatu tetapan sel (=k) yang merupakan suatu bilangan, bila dikalikan dengan hantaran suatu larutan dalam sel bersangkutan akan memberikan hantaran jenis dari larutan tersebut. Jadi :

                                            K = KL = k/R

Dari persamaan (8) dan (9) jelaslah bahwa k = I/A yang merupakan tetapan bagi suatu sel. Hantaran molar (= A) suatu elektrolit yang terlarut didefenisikan sebagai hantaran yang diperoleh, kalau antara dua buah elektroda yang cukup luas, sejajar dan berjarak 1 meter, ditempatkan sejumlah larutan yang mengandung 1 mol elektrolit it. Dari definisi hantaran molar ini dan persamaan (8) dapat diturunkan persamaan berikut,

Ʌ = k / c
K = ϲ Ʌ
Persamaan (10a) berlaku untuk kehadiran sebuah elektrolit dalam larutan. Jika lebih dari sebuah elektrolit yang terlarut, maka sesuai dengan hukum keaditifan hantaran Kohirausch untuk larutan yang encer haruslah berlaku :
 K =

ki = hantaran jenis karena kehadiran elektrolit
Сi = konsentrasi elektrolit dalam i mol dm-3
Сki = konsentrasi kation elektrolit i mol dm-3
Сai = konsentrasi anion elektrolit i mol dm-3
λki = hantaran ion kation elektrolit
λai = hantaran ion anion elektrolit

Dengan menggunakan persamaan (8) dan (10b) dapat diturunkan,
Dengan konduktometri dapat ditentukan pula orde reaksi serta tetapan laju reaksinya. Berlainan dengan cara titrasi maka pada cara konduktometri tidak dilakukan penghentian reaksi. Selama reaksi berlangsung hantaran campuran makin berkurang karena terjadi penggantian ion OH- dari larutan dengan ion CH3COO-. Dengan pengandaian bahwa etil asetat, alkohol dan air tidak menghantar listrik sedangkan NaOH dan CH3COONa terionisasi sempurna, maka hantaran larutan pada waktu t yaitu Lt mengikuti persamaan,

OH- + xλ CH3COO- + bλNa+)]

Hantaran pada waktu t = 0, dinyatakan dengan,
OH- + bλNa+)
Harga x mulai dari x = 0, hingga x = С, dengan С adalah konsentrasi awal pereaksi yang paling kecil, sedangkan bila a = b, maka С = a = b. Untuk semua keadaan, persamaan (11a) dapat dinyatakan,
OH- + bλ CH3COO-)]

OH- + bλ CH3COO-)]
Dari persaman (13) dan (14) diperoleh,

Hubungan hantaran atau tahanan larutan dengan waktu bergantung pada berbagai keadaan awal.
1.      a = b
dengan mensubtitusikan persamaan (15) ke dalam persamaan (4b) akan diperoleh,


Dimana

]

]

Menurut persamaan (12) apabila ln (ARt + 1)/(BRt + 1) dilaurkan terhadap t akan diperoleh garis lurus dengan arah lereng k1 (a-b), sehingga tetapan laju reaksi k1 dapat dihitung.

2.      a = b

dengan mensubtitusikan persamaan (15) ke dalam persamaan (6a) akan diperoleh,

 kt at
Yang dapat disusun ulang menjadi,
 + Lc

Persamaan (17a) mengungkapkan bahwa larutan Lt terhadap (L0-Lt)/t merupakan garis lurus dengan arah lereng 1/kia, sehingga penentuan dari arah lereng ini memungkinkan perhitungan laju reaksi ki.
Untuk menentukan laju dari reaksi kimia yang diberikan, harus ditentukan seberapa cepat perubahan  konsentrasi yang terjadi pada reaktan atau produknya. Secara umum, apabila terjadi reaksi A → B, maka mula-mula zat yang A dan zat B sama sekali belum ada. Setelah beberapa waktu, konsentrasi B akan meningkat sementara konsentrasi zat A akan menurun (Partana, 2003).
Hukum laju dapat ditentukan dengan melakukan serangkain eksperimen secara sistematik pada reaksi A + B → C, untuk menentukan orde reaksi terhadap A maka konsentrasi A dibuat tetap sementara konsentrasi B divariasi kemudian ditentukan laju reaksinya pada variasi konsentrasi tersebut. Sedangkan untuk menentukan orde reaksi B, maka konsentrasi B dibuat tetap sementara itu konsentrasi A divariasi kemudian diukur laju reaksinya pada variasi konsentrasi tersebut (Partana, 2003).
Orde dari suatu reaksi menggambarkan bentuk matematika dimana hasil perubahan dapat ditunjukkan. Orde reaksi hanya dapat dihitung secara eksperimen dan hanya dapat diramalkan jika suatu mekanisme reaksi diketahui seluruh orde reaksi yang dapat ditentukan sebagai jumlah dari eksponen untuk masing-masing reaktan, sedangkan hanya eksponen untuk masing-masing reaktan dikenal sebagai orde reaksi untuk komponen itu. Orde reaksi adalah jumlah pangkat faktor konsentrasi dalam hukum laju bentuk diferensial. Pada umumnya orde reaksi terhadap suatu zat tertentu tidak sama dengan koefisien dalam persamaan stoikiometri reaksi (Hiskia, 2003).
aA + bB → produk, dimana a ≠ b dan [A]o ≠ [B]o.

Orde reaksi terhadap suatu komponen merupakan pangkat dari konsentrasi komponen itu, dalam hukum laju. Contohnya reaksi dengan hukum laju dalam persamaan v=k[A][B] merupakan orde pertama dalam A dan B. Orde keseluruhan reaksi merupakan penjumlahan orde semua komponennya. Jadi, secara keseluruhan hukum laju dengan persamaan v=k[A][B] adalah orde kedua (Atkins, 1996:335).
Reaksi tidak harus mempunyai orde bilangan bulat. Demikian halnya dengan banyak reaksi fase-fase. Contohnya, jika reaksi mempunyai hukum laju :
V=k[A]1/2[B]
Maka reaksi ini adalah orde setengah dalam A, orde pertama dalam B, dan secara keseluruhan mempunyai orde tiga setengah. Jika hukum laju tidak berbentuk [A]x[B]y[C]z. Maka reaksi itu tidak mempunyai orde. Hukum laju ditentukan secara eksperimen untuk reaksi fase gas.
 H2 +  Br2                 2HBr adalah:
walaupun reaksi ini mempunyai orde pertama dalam H2, tetapi ordenya terhadap Br2­, HBr dan keseluruhan, tidak tertentu (kecuali pada kondisi yang disederhanakan, seperti jika [Br2] > K’[HBr] (Atkins, 1996:335).
Tetapan k yang muncul disebut juga sebagai tetapan laju atau koefisien laju. Untuk reaksi yang dipercaya elementer, k  biasanya disebut tetapan laju. Dan untuk reaksi yang terjadi dengan lebih dari satu tahap, k  disebut koefisien laju (Mulyani, 2004:160).
Satuan tetapan atau koefisien laju bergantung pada orde reaksi. Untuk reaksi orde I,  v= k[A], satuan v adalah mol dm-3 s-1 dan [A] adalah mol dm-3, sehingga satuan dari k untuk reaksi orde satu adalah s-1 (Mulyani, 2004:160).
Untuk reaksi orde dua :
V= k[A]2
V= k[A][B]
Satuan k adalah dm3mol-1s-1 (Mulyani, 2004:160).
Menurut Bird (1987). Penentuan orde reaksi secara percobaan:
1.             Metode Integrasi
Salah satu cara untuk menetukan orde reaksi adalah dengan jalan mencocokkan persamaan laju reaksi dengan data hasil percobaan. Masalah utama dalam metode ini adalah adanya reaksi samping dan reaksi kebalikan yang dapat mempengaruhi hasil percobaan. Tetapi cara ini merupakan cara penentuan orde reaksi yang paling tetap. 
2.             Metode laju reaksi Awal (Initial Rates Method)
Dengan metode ini, masalah reaksi samping dan reaksi kebalikan dapat ditiadakan. Dalam metode ini, prosedur yang dilakukan adalah mengukur laju reaksi awal dengan konsentrasi awal reaktan yang berbeda-beda.
3.             Metode waktu paruh
Secara umum, untuk reaksi yang berorde n, waktu paruh sebanding dengan 1/con-1, dimana co adalah konsentrasi awal reaktan. Jadi, data hasil percobaan dimasukkan ke dalam persamaan di atas, kemudian dibuat kurva yang berbentuk garis lurus dengan cara yang sama seperti pada metode integrasi. Seperti halnya pada metode integrasi,adanya reaksi samping mempengaruhi ketepatan metode ini.
   Ada beberapa cara untuk mengukur laju dari suatu reaksi. Sebagai contoh, jika gas dilepaskan dalam suatu reaksi. Kita dapat mengukurnya dengan menghitung volume gas yang dilepaskan permenit pada waktu tertentu selama reaksi berlangsung. Defenisi laju ini dapat diukur dengan satuan cm3s-1. Bagaimanapun, untuk lebih formal dan matematis dalam menentukan laju suatu reaksi. Laju biasanya diukur dengan melihat beberapa cepat konsentrasi suatu reaktan berkurang pada waktu tertentu. Misalkan salah satu mereka merupakan zat yang bisa diukur konsentrasinya, misalnya atau dalam bentuk gas (Clark, 2010).
Ketetapan laju. Hal yang cukup mengejutkan ketetepan laju, sebenarnya tidak benar-benarkonstan. Konstanta ini berubah, sebagai contoh, jika kita mengubah temperatur dari reaksi, menambah atau merubah katalis. Tetapan laju akan konstan untuk reaksi yang diberikan hanya apabila kita mengganti konsentrasi dari reaksi tersebut (Sahir.ohlpy.com).















III.    ALAT DAN BAHAN
               Adapun  alat dan bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :
a) Alat
1.      Gelas kimia 100 mL 6 buah
2.      Gelas kimia 1 L
3.      Gelas ukur 25 mL, 50 mL, dan 100 mL
4.      Labu ukur 250 mL dan 500 mL
5.      Erlenmeyer 250 mL 12 buah
6.      Pipet tetes
7.      Statif dan klem
b)      Bahan
1.   Larutan HCl 0,2 M
2.   Larutan NaOH 0,2 M
3.   Larutan H2C2O4 0,2 M
4.   Larutan etil asetat 0,2 M
5.   Aquades
6.   Inidikator PP
7.   Aluminium foil
8.   Kertas label





IV.             SKEMA  KERJA
Erlenmeyer 250 mL
↓ diisi
100  mL etil asetat 0,02 M
Erlenmeyer 250 mL
↓ diisi
100 mL NaOH 0,02 M
Suhu kedua larutan disamakan
Campurkan kedua larutan
5 erlenmeyer 100 mL
Masing-masing dengan 20 mL HCl 0,02 M
5 menit setelah bereaksi
Ambil 10 mL
Campur dengan HCl 0,02 M
Kocok
Larutan 1
+ indikator pp
Titrasi dengan NaOH 0,02 M
Hasil
Ulangi percobaan dengan rentang waktu
10, 20, 30, dan 40 menit.















V.                PROSEDUR KERJA
                        Adapun prosedur kerja yang dilakukan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :
1.      Mengencerkan larutan HCl 0,2 M menjadi 0,02 M sebanyak 500 mL.
2.      Mengencerkan larutan NaOH 0,2 M menjadi 0,02 M sebanyak 250 mL.
3.      Mengencerkan larutan etil asetat 0,2 M menjadi 0,02 M sebanyak 250 mL.
4.      Mengukur 60 mL larutan NaOH yang telah diencerkan dengan menggunakan gelas ukur 100 mL, kemudian memasukkannya ke dalam buret.
5.      Menstandarisasi 10 mL asam oksalat 0,2 M dengan menggunakan larutan NaOH 0,02 M.
6.      Menstandarisasi 10 mL larutan HCl 0,02 M dengan larutan NaOH 0,02 M.
7.      Memasukkan 10 mL etil asetat 0,02 M ke dalam erlenmeyer dan memasukkan 10 mL larutan NaOH ke dalam erlenmeyer yang lain. Lalu menutupnya dengan aluminium foil dan mengukur suhu kedua larutan tersebut hingga mencapai suhu yang sama, yaitu 43°C. Lalu mencampurkan kedua larutan tersebut dan mendiamkannya selama 3 menit.
8.      Setelah mencapai waktu 3 menit, mengambil 10 mL dari campuran tersebut dan memasukkannya ke dalam erlenmeyer yang berisi 10 mL larutan HCl. Mengocoknya, lalu menambahkan indikator PP sebanyak 5 tetes dan segera menitrasinya dengan larutan standar NaOH 0,02 N.
9.      Mencatat volume NaOH yang digunakan untuk bereaksi dengan larutan hingga mencapai titik akhir titrasi.
10.  Mengulangi langkah 7-9 pada menit ke 8, 15, 25, 40, dan 65 setelah reaksi dimulai.


VI.             HASIL PENGAMATAN
                  Adapun hasil pengamatan yang diperoleh pada percobaan ini adalah sebagai berikut :

Waktu
(menit)
Volume HCl
(mL)
Volume Campuran
(mL)
Volume Titran
(mL)
3
10
20
11,9
8
10
20
12,4
15
10
20
12,6
25
10
20
13,7
40
10
20
14,0
65
10
20
16,5

VII.          PERHITUNGAN

Diketahui :
a = etil asetat
b = NaOH
Va = 30 mL
Vb = 60 mL
[Etil asetat] = 0,02 N

1.      Standarisasi larutan NaOH
[H2C2O4] = 0,02 N
Volume H2C2O4 = 10 mL
Volume NaOH = 19 mL




[NaOH]


           

            = 0,0105 N
2.      Standarisasi larutan NaOH
[NaOH]           = 0,02 N
Volume HCl    = 10 mL
Volume NaOH = 15,8 mL

[HCl]
           
            = 0,016 N
3.      Penentuan a dan b
[NaOH] = 0,02 N
[HCl]     = 0,016 N

a

   =
   = 0,0067 N
                        b

   =
   = 0,007 N


4.      Perhitungan Volume (Vx)

a.       Vx (3 menit) = Vb  x

                     = 60 mL –  x

                           = 51,8 mL
b.      Vx (3 menit) = Vb –  x

                     = 60 mL –  x
                            = 52,8 mL
c.       Vx (3 menit) = Vb –  x

                      = 60 mL –  x
                            = 53,2 mL
d.      Vx (3 menit) = Vb –  x

                      = 60 mL –  x
                             = 55,4 mL
e.       Vx (3 menit) = Vb –  x

                      = 60 mL –  x
                            = 56 mL
f.       Vx (3 menit) = Vb –  x

                     = 60 mL –  x
                           = 61 mL

5.      Penentuan x

a.       X menit (3) =
           
                            =
                            = 0,0057 N
b.      X menit (8) =
           
                             =
                             = 0,0058 N
c.       X menit (15) =
           
                               =
                               = 0,0059 N
d.      X menit (25) =
           
                               =
                               = 0,0062 N

e.       X menit (40) =
           
            =
            = 0,0063 N
f.       X menit (65) =
           
                               =
                               = 0,0067 N

6.      Perhitungan  y

a.       yt (3) =

            =
            = 700,0 N
b.      yt (8) =

            =
            = 813,3 N
c.       yt (15) =

            =
            = 915,3 N
d.      yt (25) =

            =
            = 1420,6 N
e.       yt (40) =

            =
            = 1719,3 N




f.       yt (65) =

            =
            = 0 N



































VIII.       PEMBAHASAN
                                  Orde reaksi merupakan pangkat dari konsentrasi komponen itu dalam hukum laju. Reaksi penyabunan etil asetat dengan ion hidroksida bukan merupakan reaksi sederhana, namun ternyata bahwa reaksi ini merupakan reaksi orde dua. Pada percobaan ini (penentuan orde reaksi dan tetapan laju reaksi) digunakan larutan standar NaOH. Tujuan percobaan ini untuk menunjukkan bahwa reaksi penyabunan etil asetat oleh ion hidroksida merupakan reaksi orde dua. Konduktometri merupakan metode analisis kimia berdasarkan daya hantar listrik suatu larutan. Daya hantar listrik (L) suatu larutan bergantungpada jenis dan konsentrasi ion di dalam larutan. Daya hantar listrik berhubungan dengan pergerakan suatu ion di dalam larutan ion yang mudahbergerak mempunyai daya hantar listrik yang besar. Daya hantar listrik (L)merupakan kebalikan dari tahanan (R), sehingga daya hantar listrik mempunyai satuan ohm.
                        Bila arus listrik dialirkan dalam suatu larutan mempunyai dua elektroda, maka daya hantar listrik (L) berbanding lurus dengan luas permukaan elektroda (A) dan berbanding terbalik dengan jarak kedua elektroda (l).
                   
L= l/R = k (A / l)

dimana k adalah daya hantar jenis dalam satuan ohm. Kuat lemahnya larutan elektrolit sangat ditentukan oleh partikel-partikel bermuatan di dalam larutan elektrolit. Larutan elektrolit akanmengalami ionisasi, dimana zat terlarutnya terurai menjadi ion positif dan negatif, dengan adanya muatan listrik inilah yang menyebabkan larutanmemiliki daya hantar listriknya.
Proses ionisasi memegan peranan untuk menunjukkan kemapuan dayahantarnya, semakin banyak zat yang terionisasi semakin kuat daya hantarnya. Demikian pula sebaliknya semakin sulit terionisasi semakin lemah dayahantar listriknya.Untuk larutan elektrolit besarnya harga 0 < ɲ < 1, untuk larutan non-elektrolit maka nilai ɲ = 0. Dengan ukuran derajat ionisasi untuk larutanelektrolit memiliki jarak yang cukup besar, sehingga diperlukan pembatasanlarutan elektrolit dan dibuat istilah larutan elektrolit kuat dan larutan elektrolitlemah. Untuk elektrolit kuat harga ɲ = 1, sedangkan elektrolit lemah hargaderajat ionisasinya, 0 < ɲ < 1
(Wahyuni, 2010).
            Percobaan ini dilakukan berdasarkan metode titrasi dalam menentukan orde reaksi. Titrasi adalah proses mengukur volume larutan yang terdapat dalam buret yang ditambahkan ke dalam larutan lain yang diketahui volumenya sampai terjadi reaksi sempurna. Atau dengan perkataan lain untuk mengukur volume titran yang diperlukan untuk mencapai titik ekivalen.
Perlakuan pertama yang dilakukan pada percobaan ini adalah mengencerkan larutan NaOH 0,2 N menjadi 0,02 N sebanyak 500 mL dengan menggunakan aquades dalam labu ukur. Kemudian dengan cara yang sama mengencerkan larutan HCl dan etil asetat 0,2 N menjadi 0,02 N sebanyak 250 mL dengan menggunakan aquades dalam labu ukur. Pengenceran ini dilakukan dengan tujuan untuk memperkecil konsentrasi larutan sehingga larutan yang digunakan tidak pekat.

            Perlakuan selanjutnya adalah menstandarisasi NaOH dengan larutan asam oksalat. Demikian pula halnya dengan larutan HCl distandarisasi dengan larutan NaOH yang telah diencerkan dan berada dalam buret. Basa yang sering dipakai dalam analisis alkalimetri adalah NaOH. Larutan baku primer yang sering digunakan untuk standardisasi NaOH adalah larutan asam oksalat. NaOH perlu distandardisasi karena senyawa ini bersifat higroskopis sehingga mudah mengikat air dan bereaksi dengan CO2 di udara.
        Dalam titrasi juga kita mengenal adanya larutan baku, yaitu suatu larutan yang konsentrsinya diketahui secara akurat, dapat digunakn untuk menetapkan kadar suatu larutan lain yang belum diketahui konsentrasinya. Standarisasi ini bertujuan untuk memperoleh keakuratan nilai konsentrasi dan volume larutan dari hasil pengenceran.
            Asam oksalat adalah senyawa kimia yang memiliki rumus H2C2O4 dengan nama sistematis asam etanadioat. Asam dikarboksilat paling sederhana ini biasa digambarkan dengan rumus HOOC-COOH. Merupakan asam organik yang relatif kuat, 10.000 kali lebih kuat daripada asam asetat. Di-anionnya, dikenal sebagai oksalat, juga agen pereduktor. Banyak ion logam yang membentuk endapan tak larut dengan asam oksalat, contoh terbaik adalah kalsium oksalat(CaOOC-COOCa), penyusun utama jenis batu ginjal yang sering ditemukan.
            Langkah selanjutnya adalah memasukkan 10 mL etil asetat 0,02 M ke dalam erlenmeyer dan memasukkan 10 mL larutan NaOH ke dalam erlenmeyer yang lain. Lalu menutupnya dengan aluminium foil dan mengukur suhu kedua larutan tersebut hingga mencapai suhu yang sama, yaitu 43°C. Lalu mencampurkan kedua larutan tersebut dan mendiamkannya selama 3 menit. Larutan ditutup dengan aluminium foil karena aluminium foil bersifat inert, sehingga tidak mudah bereaksi dengan larutan dalam erlenmeyer dan larutan bersifat higroskopis sehingga mudah mengikat air dan bereaksi dengan CO2 di udara dan juga agar kedua larutan tersebut tidak terkontaminasi dengan zat lain yang dapat mempengaruhi konsentrasi kedua larutan. Selain itu juga untuk mencegah menguapnya larutan etil asetat yang sifatnya mudah menguap. Kedua suhu disamakan suhunya karena suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju reaksi. Jika suhu dinaikkan maka laju reaksi semakin besar karena kalor yang diberikan akan menambah energi kinetik partikel pereaksi, akibatnya jumlah dari energi tumbukan bertambah besar, begitu pun sebaliknya. Pencampuran pada suhu yang sama agar laju reaksi yang dihasilkan tidak mengalami perubahan besar. Kemudian dilakukan pengocokan agar campuran homogen.
Reaksi yang terjadi adalah:
CH3COOC2H5 (aq) + NaOH (aq)        CH3COONa (aq) + C2H5OH (aq)
Kemudian setelah mencapai waktu 3 menit, mengambil 10 mL dari campuran tersebut dan memasukkannya ke dalam erlenmeyer yang berisi 10 mL larutan HCl. Mengocoknya, lalu menambahkan indikator PP sebanyak 5 tetes dan segera menitrasinya dengan larutan standar NaOH 0,02 N. penambahan HCl berfungsi untuk menetralkan campuran karena campuran bersifat basa akibat kelebihan NaOH (ion OH-). Penetralan dapat mencegah terjadinya reaksi lebih lanjut. Adapun persamaan reaksinya adalah:
NaOH (aq) + HCl (aq)            NaCl (aq) + H2O (l)
Penambahan indikator PP untuk mengatahui titik akhir titrasi yaitu titik dimana mol NaOH sama dengan mol HCl yang ditandai dengan perubahan warna larutan dari bening menjadi merah muda. Kemudian mencatat volume NaOH yang digunakan untuk bereaksi dengan larutan hingga mencapai titik akhir titrasi atau hingga warna merah muda yang timbul tidak hilang lagi meskipun larutan dalam erlenmeyer diguncang. Mengulangi langkah 7-9 pada menit ke 8, 15, 25, 40, dan 65 setelah reaksi dimulai. Metoda integral grafik Orde suatu reaksi dapat ditentukan dengan cara membuat grafik daridata eksperimen. Data yang diperoleh dimasukkan ke grafik integral denganabsis dan ordinat sebagai berikut:
Orde 2: Grafik t vs 1/(a-x)
Menurut teori, fungsi garis lurus adalah y = ax + b. Jika diperolehgaris lurus maka akan diketahui orde reaksi. Dari grafik yang diperoleh











x
y
0.0057
700
0.0058
813.3
0.0059
915.3
0.0062
1420.6
0.0063
1719.3

















IX.    KESIMPULAN
            Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari percobaan ini adalah sebagai berikut :
1.      Reaksi penyabunan etil asetat oleh ion hidroksida.
CH3COOC2H5 + OH-                                   CH3COO- + C2H5OH
adalah reaksi orde kedua berdasarkan cara titrasi.
2.      Pencampuran etil asetat dan NaOH dengan HCl dalam berbagai waktu bertujuan untuk mengetahui laju reaksi yaitu dengan menentukan volume NaOH untuk titrasi.
3.      Ketetapan laju sebenarnya tidak benar-benarkonstan. Konstanta ini berubah, sebagai contoh, jika kita mengubah temperatur dari reaksi, menambah atau merubah katalis. Tetapan laju akan konstan untuk reaksi yang diberikan hanya apabila kita mengganti konsentrasi dari reaksi tersebut.

1.       
                                   





DAFTAR PUSTAKA
Daniels, et.,al.,”Eksperimental Physical Chemistry”,ed.,7,1970,hal. 144-149.
Dogra, S. K. 2008. Kimia Fisik dan Soal-soal. Jakarta: UI Press.
Findlay, “Practical Physical Chemistry”,ed.,B,1967,hal.307
Hiskia, Achmad. 2001. Elektrokimia dan Kinetika Kimia. Bandung: PT Citra Aditya         Sakti.
Partana, Crys Fajar, dll. 2003. Common Textbook : Kimia Dasar 2. Yogyaka:UNY      Press
Shoemaker, et.,al.,”Experiments in Physical Chemistry”,ed.,3, 1974.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar