PERCOBAAN
IV
PENENTUAN
ORDE REAKSI DAN TETAPAN LAJU REAKSI
I.
TUJUAN
CH3COOC2H5
+ OH- CH3COO-
+ C2H5OH
Adalah
reaksi orde kedua. Di samping itu, akan ditentukan pula tetapan laju reaksinya.
Penentuan ini akan dilakukan dengan cara titrasi dan konduktometri.
II. DASAR
TEORI
A.
Cara titrasi
Meskipun
reaksi (1) bukan reaksi sederhana, namun ternyata bahwa reaksi ini merupakan
reaksi orde kedua dengan hukum laju reaksinya dapat diberikan sebagai,
Atau sebagai,
Dengan, a =
konsentrasi awal ester, dalam mol liter-1
b = konsentarasi awal ion OH-,
dalam mol liter-1
x = jumlah mol liter-1
ester atau basa yang telah bereaksi
k1 = tetapan laju
reaksi
Baik persamaan (2) maupun persamaan (3)
berlaku untuk keadaan reaksi yang tidak
terlalu dekat pada keadaan setimbang. Persamaan (3) dapat diintegrasi dengan
memperhatikan pelbagai keadaan awal :
1. a = b
Bila persamaan (3) diintegrasikan akan
memberikan ,
Yang dapat disusun ulang menjadi :
Atau
Menurut
persamaan (4b) apabila (a-b) (b-x) dialurkan terhadap t akan diperoleh garis
lurus dengan arah lereng k1 (a-b), sehingga penentuan dari arah
lereng ini memungkinkan perhitungan dari tetapan laju reaksi k1.
2. a
= b
Bila konsentrasi dari kedua pereaksi
sama, maka persamaan (3) dapat ditulis sebagai,
2
Yang dapat diintegrasi menjadi,
Persamaan
terakhir ini mengungkapkan bahwa aluran x/a (a-x) terhadap t merupakan garis
lurus dengan arah lereng sama denga k1.
Pada
penentuan jalanya reaksi diikuti dengan cara penentuan konsentrasi ion OH-
pada waktu tertentu yaitu dengan mengambil sejumlah tertentu larutan, kemudian
ke dalam larutan yang mengandung asam berlebih. Penetralan dari basa dalam
campuran reaksi oleh asam akan menghentikan reaksi. Jumlah basa yang ada dalam
campuran reaksi pada saat reaksi dihentukan, dapat diketahui dengan menitrasi
sisa asam oleh larutan standar basa.
B.
Cara konduktometri
Pada
suhu tetap hantaran suatu larutan bergantung pada (a) konsentrasi ion, dan (b)
kemobilan ion dalam larutan. Umumnya sifat hantaran listrik satu elektrolit
mengikuti hukum ohm, V = IR, dengan tegangan V, arus I dan tahanan R. Hantaran
(=L) suatu larutan didefenisikan sebagai kebalikan dari tahanan,
L =
I/R
Hantaran
jenis (=k), suatu larutan ialah hantaran ‘sebatang’ larutan tersebut itu yang
panjangnya 1 meter dan luas penanmpang lintangnya 1 m2, maka untuk
dua permukaan yang sejajar seluas A m2 dan berjarak 1 m dari yang
lain, berlaku hubungan,
L
= k A/I
Dalam
pengukuran-pengukuran hantaran diperlukan hantaran diperlukan pula suatu
tetapan sel (=k) yang merupakan suatu bilangan, bila dikalikan dengan hantaran
suatu larutan dalam sel bersangkutan akan memberikan hantaran jenis dari
larutan tersebut. Jadi :
K =
KL = k/R
Dari
persamaan (8) dan (9) jelaslah bahwa k = I/A yang merupakan tetapan bagi suatu
sel. Hantaran molar (= A) suatu elektrolit yang terlarut didefenisikan sebagai
hantaran yang diperoleh, kalau antara dua buah elektroda yang cukup luas,
sejajar dan berjarak 1 meter, ditempatkan sejumlah larutan yang mengandung 1
mol elektrolit it. Dari definisi hantaran molar ini dan persamaan (8) dapat
diturunkan persamaan berikut,
Ʌ
= k / c
K
= ϲ Ʌ
Persamaan
(10a) berlaku untuk kehadiran sebuah elektrolit dalam larutan. Jika lebih dari
sebuah elektrolit yang terlarut, maka sesuai dengan hukum keaditifan hantaran
Kohirausch untuk larutan yang encer haruslah berlaku :
K =
ki
= hantaran jenis karena kehadiran elektrolit
Сi
= konsentrasi elektrolit dalam i mol dm-3
Сki
= konsentrasi kation elektrolit i mol dm-3
Сai
= konsentrasi anion elektrolit i mol dm-3
λki
= hantaran ion kation elektrolit
λai
= hantaran ion anion elektrolit
Dengan
menggunakan persamaan (8) dan (10b) dapat diturunkan,
Dengan
konduktometri dapat ditentukan pula orde reaksi serta tetapan laju reaksinya.
Berlainan dengan cara titrasi maka pada cara konduktometri tidak dilakukan
penghentian reaksi. Selama reaksi berlangsung hantaran campuran makin berkurang
karena terjadi penggantian ion OH- dari larutan dengan ion CH3COO-.
Dengan pengandaian bahwa etil asetat, alkohol dan air tidak menghantar listrik
sedangkan NaOH dan CH3COONa terionisasi sempurna, maka hantaran
larutan pada waktu t yaitu Lt mengikuti persamaan,
OH- + xλ
CH3COO- + bλNa+)]
Hantaran
pada waktu t = 0, dinyatakan dengan,
OH- + bλNa+)
Harga
x mulai dari x = 0, hingga x = С, dengan С adalah konsentrasi awal pereaksi
yang paling kecil, sedangkan bila a = b, maka С = a = b. Untuk semua keadaan,
persamaan (11a) dapat dinyatakan,
OH- + bλ
CH3COO-)]
OH- + bλ
CH3COO-)]
Dari persaman (13) dan
(14) diperoleh,
Hubungan hantaran atau
tahanan larutan dengan waktu bergantung pada berbagai keadaan awal.
1.
a = b
dengan
mensubtitusikan persamaan (15) ke dalam persamaan (4b) akan diperoleh,
Dimana
]
]
Menurut
persamaan (12) apabila ln (ARt + 1)/(BRt + 1) dilaurkan
terhadap t akan diperoleh garis lurus dengan arah lereng k1 (a-b),
sehingga tetapan laju reaksi k1 dapat dihitung.
2.
a = b
dengan mensubtitusikan persamaan (15) ke
dalam persamaan (6a) akan diperoleh,
kt
at
Yang dapat disusun
ulang menjadi,
+
Lc
Persamaan
(17a) mengungkapkan bahwa larutan Lt terhadap (L0-Lt)/t
merupakan garis lurus dengan arah lereng 1/kia, sehingga penentuan
dari arah lereng ini memungkinkan perhitungan laju reaksi ki.
Untuk menentukan laju dari reaksi
kimia yang diberikan, harus ditentukan seberapa cepat perubahan
konsentrasi yang terjadi pada reaktan atau produknya. Secara umum, apabila
terjadi reaksi A → B, maka mula-mula zat yang A dan zat B sama sekali belum
ada. Setelah beberapa waktu, konsentrasi B akan meningkat sementara konsentrasi
zat A akan menurun (Partana, 2003).
Hukum laju dapat ditentukan dengan
melakukan serangkain eksperimen secara sistematik pada reaksi A + B → C, untuk
menentukan orde reaksi terhadap A maka konsentrasi A dibuat tetap sementara
konsentrasi B divariasi kemudian ditentukan laju reaksinya pada variasi
konsentrasi tersebut. Sedangkan untuk menentukan orde reaksi B, maka
konsentrasi B dibuat tetap sementara itu konsentrasi A divariasi kemudian
diukur laju reaksinya pada variasi konsentrasi tersebut (Partana, 2003).
Orde dari suatu reaksi menggambarkan
bentuk matematika dimana hasil perubahan dapat ditunjukkan. Orde reaksi hanya
dapat dihitung secara eksperimen dan hanya dapat diramalkan jika suatu
mekanisme reaksi diketahui seluruh orde reaksi yang dapat ditentukan sebagai
jumlah dari eksponen untuk masing-masing reaktan, sedangkan hanya eksponen
untuk masing-masing reaktan dikenal sebagai orde reaksi untuk komponen itu.
Orde reaksi adalah jumlah pangkat faktor konsentrasi dalam hukum laju bentuk
diferensial. Pada umumnya orde reaksi terhadap suatu zat tertentu tidak sama
dengan koefisien dalam persamaan stoikiometri reaksi (Hiskia, 2003).
aA
+ bB → produk, dimana a ≠ b dan [A]o ≠ [B]o.
Orde reaksi
terhadap suatu komponen merupakan pangkat dari konsentrasi komponen itu, dalam
hukum laju. Contohnya reaksi dengan hukum laju dalam persamaan v=k[A][B]
merupakan orde pertama dalam A dan B. Orde keseluruhan reaksi merupakan
penjumlahan orde semua komponennya. Jadi, secara keseluruhan hukum laju dengan
persamaan v=k[A][B] adalah orde kedua (Atkins, 1996:335).
Reaksi tidak
harus mempunyai orde bilangan bulat. Demikian halnya dengan banyak reaksi
fase-fase. Contohnya, jika reaksi mempunyai hukum laju :
V=k[A]1/2[B]
Maka reaksi ini
adalah orde setengah dalam A, orde pertama dalam B, dan secara keseluruhan
mempunyai orde tiga setengah. Jika hukum laju tidak berbentuk [A]x[B]y[C]z.
Maka reaksi itu tidak mempunyai orde. Hukum laju ditentukan secara eksperimen
untuk reaksi fase gas.
H2 + Br2 2HBr adalah:
walaupun reaksi ini mempunyai orde pertama dalam H2,
tetapi ordenya terhadap Br2, HBr dan keseluruhan, tidak tertentu
(kecuali pada kondisi yang disederhanakan, seperti jika [Br2] > K’[HBr]
(Atkins, 1996:335).
Tetapan k yang
muncul disebut juga sebagai tetapan laju atau koefisien laju. Untuk reaksi yang
dipercaya elementer, k biasanya disebut
tetapan laju. Dan untuk reaksi yang terjadi dengan lebih dari satu tahap, k disebut koefisien laju (Mulyani, 2004:160).
Satuan tetapan
atau koefisien laju bergantung pada orde reaksi. Untuk reaksi orde I, v= k[A], satuan v adalah mol dm-3
s-1 dan [A] adalah mol dm-3, sehingga satuan dari k untuk
reaksi orde satu adalah s-1 (Mulyani, 2004:160).
Untuk reaksi
orde dua :
V= k[A]2
V= k[A][B]
Satuan k adalah
dm3mol-1s-1 (Mulyani, 2004:160).
Menurut Bird
(1987). Penentuan orde reaksi secara percobaan:
1.
Metode
Integrasi
Salah satu cara
untuk menetukan orde reaksi adalah dengan jalan mencocokkan persamaan laju
reaksi dengan data hasil percobaan. Masalah utama dalam metode ini adalah
adanya reaksi samping dan reaksi kebalikan yang dapat mempengaruhi hasil
percobaan. Tetapi cara ini merupakan cara penentuan orde reaksi yang paling
tetap.
2.
Metode laju
reaksi Awal (Initial Rates Method)
Dengan metode
ini, masalah reaksi samping dan reaksi kebalikan dapat ditiadakan. Dalam metode
ini, prosedur yang dilakukan adalah mengukur laju reaksi awal dengan
konsentrasi awal reaktan yang berbeda-beda.
3.
Metode waktu
paruh
Secara umum,
untuk reaksi yang berorde n, waktu paruh sebanding dengan 1/con-1,
dimana co adalah konsentrasi awal reaktan. Jadi, data hasil percobaan
dimasukkan ke dalam persamaan di atas, kemudian dibuat kurva yang berbentuk
garis lurus dengan cara yang sama seperti pada metode integrasi. Seperti halnya
pada metode integrasi,adanya reaksi samping mempengaruhi ketepatan metode ini.
Ada
beberapa cara untuk mengukur laju dari suatu reaksi. Sebagai contoh, jika gas
dilepaskan dalam suatu reaksi. Kita dapat mengukurnya dengan menghitung volume
gas yang dilepaskan permenit pada waktu tertentu selama reaksi berlangsung.
Defenisi laju ini dapat diukur dengan satuan cm3s-1.
Bagaimanapun, untuk lebih formal dan matematis dalam menentukan laju suatu
reaksi. Laju biasanya diukur dengan melihat beberapa cepat konsentrasi suatu
reaktan berkurang pada waktu tertentu. Misalkan salah satu mereka merupakan zat
yang bisa diukur konsentrasinya, misalnya atau dalam bentuk gas (Clark, 2010).
Ketetapan laju. Hal yang cukup
mengejutkan ketetepan laju, sebenarnya tidak benar-benarkonstan. Konstanta ini
berubah, sebagai contoh, jika kita mengubah temperatur dari reaksi, menambah
atau merubah katalis. Tetapan laju akan konstan untuk reaksi yang diberikan
hanya apabila kita mengganti konsentrasi dari reaksi tersebut
(Sahir.ohlpy.com).
III.
ALAT DAN BAHAN
Adapun alat dan
bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :
a) Alat
1.
Gelas kimia 100 mL 6 buah
2.
Gelas kimia 1 L
3.
Gelas ukur 25 mL, 50 mL, dan 100 mL
4.
Labu ukur 250 mL dan 500 mL
5.
Erlenmeyer 250 mL 12 buah
6.
Pipet tetes
7.
Statif dan klem
b)
Bahan
1. Larutan
HCl 0,2 M
2. Larutan
NaOH 0,2 M
3. Larutan
H2C2O4 0,2 M
4. Larutan
etil asetat 0,2 M
5. Aquades
6. Inidikator
PP
7. Aluminium
foil
8. Kertas
label
IV.
SKEMA
KERJA
Erlenmeyer 250 mL
↓ diisi
100 mL etil asetat 0,02 M
|
Erlenmeyer 250 mL
↓ diisi
100 mL NaOH 0,02 M
|
Suhu kedua larutan disamakan
↓
Campurkan kedua larutan
5 erlenmeyer 100 mL
↓
Masing-masing dengan 20 mL HCl 0,02
M
5 menit setelah bereaksi
Ambil
10 mL
Campur
dengan HCl 0,02 M
Kocok
Larutan 1
+
indikator pp
Titrasi
dengan NaOH 0,02 M
Hasil
↓
Ulangi percobaan dengan rentang
waktu
10, 20, 30, dan 40 menit.
V.
PROSEDUR KERJA
Adapun
prosedur kerja yang dilakukan dalam percobaan ini adalah sebagai berikut :
1. Mengencerkan
larutan HCl 0,2 M menjadi 0,02 M sebanyak 500 mL.
2. Mengencerkan
larutan NaOH 0,2 M menjadi 0,02 M sebanyak 250 mL.
3. Mengencerkan
larutan etil asetat 0,2 M menjadi 0,02 M sebanyak 250 mL.
4. Mengukur
60 mL larutan NaOH yang telah diencerkan dengan menggunakan gelas ukur 100 mL,
kemudian memasukkannya ke dalam buret.
5. Menstandarisasi
10 mL asam oksalat 0,2 M dengan menggunakan larutan NaOH 0,02 M.
6. Menstandarisasi
10 mL larutan HCl 0,02 M dengan larutan NaOH 0,02 M.
7. Memasukkan
10 mL etil asetat 0,02 M ke dalam erlenmeyer dan memasukkan 10 mL larutan NaOH
ke dalam erlenmeyer yang lain. Lalu menutupnya dengan aluminium foil dan
mengukur suhu kedua larutan tersebut hingga mencapai suhu yang sama, yaitu
43°C. Lalu mencampurkan kedua larutan tersebut dan mendiamkannya selama 3
menit.
8. Setelah
mencapai waktu 3 menit, mengambil 10 mL dari campuran tersebut dan
memasukkannya ke dalam erlenmeyer yang berisi 10 mL larutan HCl. Mengocoknya,
lalu menambahkan indikator PP sebanyak 5 tetes dan segera menitrasinya dengan
larutan standar NaOH 0,02 N.
9. Mencatat
volume NaOH yang digunakan untuk bereaksi dengan larutan hingga mencapai titik
akhir titrasi.
10. Mengulangi
langkah 7-9 pada menit ke 8, 15, 25, 40, dan 65 setelah reaksi dimulai.
VI.
HASIL PENGAMATAN
Adapun hasil pengamatan yang diperoleh pada
percobaan ini adalah sebagai berikut :
Waktu
(menit)
|
Volume HCl
(mL)
|
Volume Campuran
(mL)
|
Volume Titran
(mL)
|
3
|
10
|
20
|
11,9
|
8
|
10
|
20
|
12,4
|
15
|
10
|
20
|
12,6
|
25
|
10
|
20
|
13,7
|
40
|
10
|
20
|
14,0
|
65
|
10
|
20
|
16,5
|
VII.
PERHITUNGAN
Diketahui :
a = etil asetat
b = NaOH
Va = 30 mL
Vb = 60 mL
[Etil asetat] = 0,02 N
1.
Standarisasi larutan NaOH
[H2C2O4]
= 0,02 N
Volume H2C2O4
= 10 mL
Volume NaOH = 19 mL
[NaOH]
= 0,0105 N
2.
Standarisasi larutan NaOH
[NaOH] = 0,02 N
Volume HCl = 10 mL
Volume NaOH = 15,8 mL
[HCl]
= 0,016 N
3.
Penentuan a dan b
[NaOH] = 0,02 N
[HCl] = 0,016 N
a
=
= 0,0067 N
b
=
= 0,007 N
4.
Perhitungan Volume (Vx)
a.
Vx (3 menit) = Vb –
x
= 60 mL –
x
=
51,8 mL
b.
Vx (3 menit) = Vb –
x
= 60 mL –
x
=
52,8 mL
c.
Vx (3 menit) = Vb –
x
= 60 mL –
x
= 53,2
mL
d.
Vx (3 menit) = Vb –
x
= 60 mL –
x
=
55,4 mL
e.
Vx (3 menit) = Vb –
x
= 60 mL –
x
=
56 mL
f.
Vx (3 menit) = Vb –
x
= 60 mL –
x
= 61
mL
5.
Penentuan x
a.
X menit (3) =
=
=
0,0057 N
b.
X menit (8) =
=
=
0,0058 N
c.
X menit (15) =
=
=
0,0059 N
d.
X menit (25) =
=
=
0,0062 N
e.
X menit (40) =
=
= 0,0063 N
f.
X menit (65) =
=
=
0,0067 N
6.
Perhitungan y
a.
yt
(3) =
=
= 700,0 N
b.
yt
(8) =
=
= 813,3 N
c.
yt
(15) =
=
= 915,3 N
d.
yt
(25) =
=
= 1420,6 N
e.
yt
(40) =
=
= 1719,3 N
f.
yt
(65) =
=
= 0 N
VIII. PEMBAHASAN
Orde reaksi merupakan pangkat dari konsentrasi komponen itu
dalam hukum laju. Reaksi penyabunan etil asetat dengan ion hidroksida bukan
merupakan reaksi sederhana, namun ternyata bahwa reaksi ini merupakan reaksi
orde dua. Pada percobaan ini (penentuan orde reaksi dan tetapan laju reaksi)
digunakan larutan standar NaOH. Tujuan percobaan ini untuk menunjukkan bahwa
reaksi penyabunan etil asetat oleh ion hidroksida merupakan reaksi orde dua. Konduktometri
merupakan metode analisis kimia berdasarkan daya hantar listrik suatu larutan.
Daya hantar listrik (L) suatu larutan bergantungpada jenis dan konsentrasi ion
di dalam larutan. Daya hantar listrik berhubungan dengan pergerakan suatu
ion di dalam larutan ion yang mudahbergerak mempunyai daya hantar listrik yang
besar. Daya hantar listrik (L)merupakan kebalikan dari tahanan (R), sehingga
daya hantar listrik mempunyai satuan ohm.
Bila arus listrik
dialirkan dalam suatu larutan mempunyai dua elektroda, maka daya hantar listrik
(L) berbanding lurus dengan luas permukaan elektroda (A) dan berbanding
terbalik dengan jarak kedua elektroda (l).
L=
l/R = k (A / l)
dimana k adalah daya
hantar jenis dalam satuan ohm. Kuat lemahnya larutan elektrolit
sangat ditentukan oleh partikel-partikel bermuatan di dalam larutan elektrolit.
Larutan elektrolit akanmengalami ionisasi,
dimana zat terlarutnya terurai menjadi ion positif dan negatif, dengan
adanya muatan listrik inilah yang menyebabkan larutanmemiliki daya hantar
listriknya.
Proses ionisasi memegan
peranan untuk menunjukkan kemapuan dayahantarnya, semakin banyak zat yang
terionisasi semakin kuat daya hantarnya. Demikian pula sebaliknya semakin sulit
terionisasi semakin lemah dayahantar listriknya.Untuk larutan elektrolit
besarnya harga 0 < ɲ < 1, untuk larutan
non-elektrolit maka nilai ɲ = 0. Dengan ukuran derajat ionisasi untuk larutanelektrolit
memiliki jarak yang cukup besar, sehingga diperlukan pembatasanlarutan
elektrolit dan dibuat istilah larutan elektrolit kuat dan larutan elektrolitlemah. Untuk elektrolit kuat harga ɲ = 1, sedangkan elektrolit lemah hargaderajat ionisasinya, 0 < ɲ < 1
(Wahyuni, 2010).
Percobaan
ini dilakukan berdasarkan metode titrasi dalam menentukan orde reaksi. Titrasi
adalah proses mengukur volume larutan yang terdapat dalam buret yang
ditambahkan ke dalam larutan lain yang diketahui volumenya sampai terjadi
reaksi sempurna. Atau dengan perkataan lain untuk mengukur volume titran yang
diperlukan untuk mencapai titik ekivalen.
Perlakuan pertama yang
dilakukan pada percobaan ini adalah mengencerkan larutan NaOH 0,2 N menjadi
0,02 N sebanyak 500 mL dengan menggunakan aquades dalam labu ukur. Kemudian
dengan cara yang sama mengencerkan larutan HCl dan etil asetat 0,2 N menjadi
0,02 N sebanyak 250 mL dengan menggunakan aquades dalam labu ukur. Pengenceran
ini dilakukan dengan tujuan untuk memperkecil konsentrasi larutan sehingga
larutan yang digunakan tidak pekat.
Perlakuan
selanjutnya adalah menstandarisasi NaOH dengan larutan asam oksalat. Demikian
pula halnya dengan larutan HCl distandarisasi dengan larutan NaOH yang telah
diencerkan dan berada dalam buret. Basa yang sering dipakai dalam analisis alkalimetri adalah
NaOH. Larutan baku primer yang sering digunakan untuk standardisasi NaOH adalah
larutan asam oksalat. NaOH perlu distandardisasi karena senyawa ini bersifat
higroskopis sehingga mudah mengikat air dan bereaksi dengan CO2 di
udara.
Dalam titrasi juga kita mengenal adanya
larutan baku, yaitu suatu larutan yang konsentrsinya diketahui secara akurat,
dapat digunakn untuk menetapkan kadar suatu larutan lain yang belum diketahui
konsentrasinya. Standarisasi ini bertujuan untuk memperoleh keakuratan nilai
konsentrasi dan volume larutan dari hasil pengenceran.
Asam
oksalat
adalah senyawa kimia yang memiliki rumus H2C2O4
dengan nama sistematis asam etanadioat. Asam dikarboksilat paling sederhana ini
biasa digambarkan dengan rumus HOOC-COOH. Merupakan asam organik yang relatif kuat, 10.000 kali
lebih kuat daripada asam asetat.
Di-anionnya, dikenal sebagai oksalat, juga
agen pereduktor. Banyak ion logam yang membentuk endapan tak larut dengan asam
oksalat, contoh terbaik adalah kalsium oksalat(CaOOC-COOCa), penyusun utama
jenis batu ginjal
yang sering ditemukan.
Langkah
selanjutnya adalah memasukkan 10 mL etil asetat 0,02 M ke dalam erlenmeyer dan
memasukkan 10 mL larutan NaOH ke dalam erlenmeyer yang lain. Lalu menutupnya
dengan aluminium foil dan mengukur suhu kedua larutan tersebut hingga mencapai
suhu yang sama, yaitu 43°C. Lalu mencampurkan kedua larutan tersebut dan
mendiamkannya selama 3 menit.
Larutan ditutup dengan aluminium foil karena aluminium foil bersifat inert,
sehingga tidak mudah bereaksi dengan larutan dalam erlenmeyer dan larutan bersifat
higroskopis sehingga mudah mengikat air dan bereaksi dengan CO2 di
udara
dan juga agar kedua
larutan tersebut tidak terkontaminasi dengan zat lain yang dapat mempengaruhi
konsentrasi kedua larutan. Selain itu juga untuk mencegah menguapnya larutan
etil asetat yang sifatnya mudah menguap. Kedua suhu disamakan suhunya karena
suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju reaksi. Jika suhu
dinaikkan maka laju reaksi semakin besar karena kalor yang diberikan akan
menambah energi kinetik partikel pereaksi, akibatnya jumlah dari energi tumbukan
bertambah besar, begitu pun sebaliknya. Pencampuran pada suhu yang sama agar
laju reaksi yang dihasilkan tidak mengalami perubahan besar. Kemudian dilakukan
pengocokan agar campuran homogen.
Reaksi yang terjadi adalah:
CH3COOC2H5 (aq)
+ NaOH (aq) CH3COONa
(aq) + C2H5OH (aq)
Kemudian setelah
mencapai waktu 3 menit, mengambil 10 mL dari campuran tersebut dan
memasukkannya ke dalam erlenmeyer yang berisi 10 mL larutan HCl. Mengocoknya,
lalu menambahkan indikator PP sebanyak 5 tetes dan segera menitrasinya dengan
larutan standar NaOH 0,02 N. penambahan
HCl berfungsi untuk menetralkan campuran karena campuran bersifat basa akibat
kelebihan NaOH (ion OH-). Penetralan dapat mencegah terjadinya
reaksi lebih lanjut. Adapun persamaan reaksinya adalah:
NaOH
(aq) + HCl (aq)
NaCl (aq) + H2O (l)
Penambahan indikator PP untuk
mengatahui titik akhir titrasi yaitu titik dimana mol NaOH sama dengan mol HCl
yang ditandai dengan perubahan warna larutan dari bening menjadi merah muda. Kemudian
mencatat volume NaOH yang digunakan untuk bereaksi dengan larutan hingga
mencapai titik akhir titrasi atau hingga warna merah muda yang timbul tidak
hilang lagi meskipun larutan dalam erlenmeyer diguncang. Mengulangi langkah 7-9
pada menit ke 8, 15, 25, 40, dan 65 setelah reaksi dimulai. Metoda
integral grafik Orde suatu reaksi dapat ditentukan dengan cara membuat
grafik daridata eksperimen. Data yang diperoleh dimasukkan ke grafik integral
denganabsis dan ordinat sebagai berikut:
Orde 2: Grafik t vs
1/(a-x)
Menurut teori, fungsi
garis lurus adalah y = ax + b. Jika diperolehgaris lurus maka akan diketahui
orde reaksi. Dari grafik yang diperoleh
x
|
y
|
0.0057
|
700
|
0.0058
|
813.3
|
0.0059
|
915.3
|
0.0062
|
1420.6
|
0.0063
|
1719.3
|
IX. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat ditarik dari percobaan ini
adalah sebagai berikut :
1. Reaksi
penyabunan etil asetat oleh ion hidroksida.
CH3COOC2H5
+ OH- CH3COO-
+ C2H5OH
adalah reaksi orde kedua
berdasarkan cara titrasi.
2.
Pencampuran
etil asetat dan NaOH dengan HCl dalam berbagai waktu bertujuan untuk mengetahui
laju reaksi yaitu dengan menentukan volume NaOH untuk titrasi.
3.
Ketetapan laju sebenarnya
tidak benar-benarkonstan. Konstanta ini
berubah, sebagai contoh, jika kita mengubah temperatur dari reaksi, menambah
atau merubah katalis. Tetapan laju akan konstan untuk reaksi yang diberikan
hanya apabila kita mengganti konsentrasi dari reaksi tersebut.
1.
DAFTAR PUSTAKA
Daniels, et.,al.,”Eksperimental Physical Chemistry”,ed.,7,1970,hal.
144-149.
Dogra, S. K. 2008. Kimia Fisik dan Soal-soal. Jakarta: UI
Press.
Findlay, “Practical Physical Chemistry”,ed.,B,1967,hal.307
Hiskia, Achmad. 2001. Elektrokimia dan Kinetika Kimia.
Bandung: PT Citra Aditya Sakti.
Partana, Crys Fajar, dll. 2003. Common Textbook : Kimia Dasar 2. Yogyaka:UNY
Press
Shoemaker, et.,al.,”Experiments in Physical Chemistry”,ed.,3,
1974.